Minggu, 04 Mei 2014

Membaca Sholawat Atas Rasulullah Saaw dan Keluarga Suci Beliau As

Perintah Bershalawat kepada Nabi saaw dan Keluarganya
Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىِّ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56).
Lalu bagaimana cara dan lafal sholawat yang iperintahkan Nabi saaw? hal ini yg menjadi pertanyaan.
Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (as) sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (as), yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.
Cara bershalawat dalam shahih Bukhari, kitab doa, bab bershalawat kepada Nabi saw:
Abdurrahman bin Abi Layli berkata: Ka’b bin Ujrah menemui aku lalu berkata: Tidakkah kamu diberi hadiah? Nabi saw datang kepada kami, lalu kami berkata: Ya Rasulallah, engkau telah mengajari kami cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu?
Beliau menjawab: Kalian ucapkan:
اللهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد، كما صلّيت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللّهمّ بارك على محمّد وعلى آل محمّد، كما باركت على إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Dalam Shahih Bukhari, kitab tafsir, bab ayat ini : Abu Said Al-Khudri berkata, kami berkata: Ya Rasulallah, ini adalah cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: kalian ucapkan:
اللّهمّ صلّ على محمّد عبدك ورسولك كما صلّيت على آل إبراهيم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim.
Shahih Muslim, kitab shalawat kepada Nabi saw sesudah tasyahhud:
Abu Mas’ud Al-Anshari berkata: Rasulullah saw pernah mendatangi kami ketika kami berada di majlis Sa’d bin Ubadah. Kemudian Basyir bin Sa’d berkata kepadanya: Allah Azza wa Jalla memerintahkan pada kami agar bershalawat kepadamu ya Rasulallah, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Lalu beliau diam sepertinya beliau menghendaki kami tidak bertanya tentang hal itu.
Kemudian beliau bersabda: Kalian ucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على آل إبراهم، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على آل إبراهيم في العالمين إنك حميدٌ مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi keluarga Ibrahim di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1/190, bab 52, hadis ke 1289:M usa bin Thalhah dari ayahnya, ia berkata: kami berkata, ya Rasulallah, bagaimana cara bershalawat kepadamu? Beliau menjawab: Kalian ucapkan:
اللّهمّ صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia; berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Sunan An-Nasa’i 1: 190, bab 52, hadis ke 1291:
Musa bin Thalhah berkata, aku bertanya kepada Zaid bin Kharijah, ia berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: Bershalawatlah kalian kepadaku dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdoa, dan kalian ucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Shahih Ibnu Majah 65, kitab shalat, bab shalawat kepada Nabi saw, hadis ke 906: “Abdullah bin Mas’ud berkata: Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah saw, hendaknya kalian memperbaiki shalawat kepadanya, karena kalian tidak tahu kalau shalawat itu hukumnya wajib. Lalu dikatakan kepadanya: ajarkan kepada kami (tentang cara bershalawat). Ia berkata: kalian ucapkan:
اللهم اجعل صلاتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين. اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد كما صلّيت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد
Ya Allah, curahkan shalawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkahan-Mu kepada penghulu para Rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.
Fathul Bari 13: 441, kitab doa, bab 32, hadis ke 6358:
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang shalawat ini, pada hari kiamat aku akan menjadi saksi baginya dan memberi syafaat padanya:
اللهم صل على محمّد وعلى آل محمّد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وبارك على محمّد وعلى آل محمّد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم ، وترحم على محمّد وعلى آل محمّد كما ترحمت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sayangi Ibrahim dan keluarga Ibrahim.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i) meriwayatkan dalam Musnadnya: “Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد كما صليت على ابراهيم وبارك على محمد وآل محمد كما باركت على ابراهيم وآل ابراهيم، ثم تسلمون علي
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau sampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, dan berkahi Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Kau berkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim; kemudian ucapkan salam kepadaku. (Musnad, jilid 2, halaman 97).
Ash-Shawa’iqul Muhriqah, hlm 144:
Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Ka’b bin Ujrah berkata: ketika ayat ini turun kami bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tapi bagaimana cara bershalawat kepadamu. Nabi saw menjawab: kalian ucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat yang batra’ (puntung). Lalu para sahabat bertanya: Apa shalawat yang batra’ itu. Beliau menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صل على محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi, hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صل على محمد وآل محمد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Dalam tafsirnya Al-Qurthubi menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini adalah keharusan menyertakan Ahlul bait ketika bershalawat kepada Nabi saw. (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an 14: 233 dan 234).
Ibnul Arabi Al-Andalusi Al-Maliki juga menyebutkan beberapa riwayat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Nabi saw dan keluarganya yang suci (as). (Ahkamul Qur’an 2: 84).
Jabir (ra) berkata: Sekiranya kamu melakukan shalat dan tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, maka aku tidak melihat shalatnya diterima. (Dzakhairul Uqba:19).
Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan dalam Asy-Syifa’, dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Al-Ghadir 2: 303).
Ibnu Hajar mengatakatan: Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan shalat dan dalam shalatnya tidak membaca shalawat kepadaku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.” (Ash-Shawaiqul Muhriqah: 139).
Ar-Razi mengatakan: Doa untuk keluarga Nabi saw menunjukkan keagungan kedudukan mereka, karena doa ini ditempatkan di akhir Tasyahhud dalam shalat, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa âli Muhammad, warham Muhammadan wa âla Muhammad (Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan sayangi Muhammad dan keluarga Muhammad).
Pengagungan ini tidak akan didapatkan pada selain keluarga Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa mencintai keluarga Muhammad adalah wajib. Keagungan kedudukan Ahlul bait Nabi saw terdapat dalam lima hal: Tasyahhud dalam shalat, salam, kesucian, diharamkannya sedekah bagi mereka, dan kewajiban mencintai mereka. (Tafsir Ar-Razi 7: 391).
Hadis-hadis tersebut dan yang semakna juga terdapat dalam:
1. Shahih Bukhari, jilid 6, halaman 12.
2. Asbabun Nuzul, Al-Wahidi, halaman 271.
3. Ma’alim At-Tanzil, Al-Baghawi, catatan pinggir Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 225.
4. Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, halaman 148.
5. Tafsir Fakhrur Razi, jilid 25, halaman 226.
6. Al-Hafizh Abu Na’im Al-Isfahani, Akhbar Isfahan, jilid 1, halaman 131.
7. Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib, Tarikh Baghdad, jilid 6, halaman 216.
8. Ibnu Abd Al-Birr Al-Andalusi, Tajrid At-Tamhid, halaman 185.
9. Tafsir Ruh Al-Ma’ani, Al-Alusi, jilid 22, halaman 32.
10. Dzakhairul Uqba, Muhibuddin Ath-Thabari, halaman 19.
11. Riyadhush Shalihin, An-Nawawi, halaman 455.
12. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, halaman 506.
13. Tafsir Ath-Thabari, jilid 22, halaman 27.
14. Tafsir Al-Khazin, jilid 5, halaman 226.
15. Ad-Durrul Mantsur, As-Suyuthi, jilid 5, halaman 215.
16. Fathul Qadir, Asy-Syaukani, jilid 4, halaman 293.
Shalat tidak akan diterima tanpa shalawat, riwayat yang menerangkan ini terdapat dalam Sunan Al-Baihaqi 2: 379, kitab shalat, bab 471, hadis 3968, sebagai berikut : Abu Mas’ud berkata: Sekiranya aku melakukan shalat tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak sempurna.
Dalam Sunan Ad-Daruquthni 136, kitab shalat, bab kewajiban shalawat dalam tasyahhud, hadits ke 6: Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasululah saw bersabda:
من صلى صلاة لم يصل فيها عليّ ولا على أهل بيتي لم تقبل منه
“Barangsiapa yang melakukan shalat, dan di dalamnya tidak bershalawat kepada ku dan Ahlul baitku, maka shalatnya tidak diterima.”
Dalam Dzakhair Al-‘Uqba 19, bab Fadhail Ahlul bait (sa):Jabir berkata: Sekiranya aku melakukan shalat, dan di dalamnya aku tidak bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, niscaya aku memandang shalatku tidak diterima.
Dalam Syarah Al-Mawahib halaman 7, Imam Syafi’i berkata :
يا آل بيت رسول الله حبكم فرض من الله في القرآن أنزله
كفا كم من عظيم القدر انكم من لم يصل عليكم لا صلاة له
Wahai Ahlul bait Rasulullah,mencintaimu diwajibkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkanCukuplah keagungan kedudukanmuorang yang tidak bershalawat kepadamu (dalam shalatnya)shalatnya tidak sah.
Perkataan Imam Syafi’i tersebut juga terdapat dalam:1. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 323.2. Ash-Shawaiqul Muhriqah, Ibnu hajar, halaman 88.3. Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn Al-Abshar, Asy-Syablanji, halaman 104, bab 2 manaqib Al-Hasan dan Al-Husayn.
Doa tidak akan diijabah tanpa shalawatDalam Kanzul Ummal 1: 173, pasal 2 Adab Doa : Tidak ada suatupun doa kecuali ada hijab (penghalang) antara doa itu dan Allah sehingga dibacakan shalawat. Ketika shalawat dibacakan, maka robeklah hijab itu dan sampailah doa itu kepada Allah swt. Dan jika tidak dibacakan shalawat, maka kembalilah doa itu.Pernyataan ini diriwayatkan oleh Ad-daylami dari Ali bin Abi Thalib (as).
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah haaman 88:Ad-Daylami meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
الدعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وأهل بيته ، اللّهم صلِّ على محمّد وآله
“Doa itu akan terhijab sampai dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya, yaitu: Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.”
Dalam Faydh Al-Qadhir 5: 19, hadis ke 6303:Ali bin Abi Thalib (as) berkata:
كل دعاء محجوب حتى يُصلّى على محمّد وآل محمّد
“Semua doa akan terhalangi sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Al-Haitsami mengatakan: Tokoh-tokoh hadis tersebut dapat dipercaya.Al-Muttaqi Al-Hindi juga menyebutkan dalam kitabnya Kanzul Ummal 1/314, mengutip dari Ubaidillah bin Abi Hafsh Al-‘Aysyi. Abdul Qadir Ar-Rahawi menyebutkan dalam Al-Arbain, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, Al-Baihaqi dalam Syu’b Al-Iman.
Dalam Faydh Al-Qadir 3: 543: Abu Syaikh meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib (as) berkata :
الدعاء محجوب عن الله حتى يصلّى على محمّد وأهل بيته
“Doa itu akan terhijabi dari Allah sehingga dibacakan shalawat kepada Muhammad dan Ahlul baitnya.”
Hadis ini juga diriwayatkan Al-Baihaqi dari Asy-Sya’b, At-Tirmidzi dari Ibnu Umar.
Dalam Kanzul Ummal 1: 181:Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib (sa): Jika disedihkan oleh suatu persoalan, maka bacalah:
اللّهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام. أسألك أن تُصلّي على محمّد وعلى آل محمّد، وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبابرة
“Ya Allah, jagalah daku dengan mata-Mu yang tak pernah tidur, dan jagalah daku dengan benteng-Mu yang tak pernah hancur. Aku bermohon pada-Mu sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dengan-Mu aku berlindung dari permusuhan musuh-musuhku dan orang-orang yang sombong.”
Ali, Fatimah, Hasan dan Husein (as) adalah keluarga Nabi sawDalam Musnad Ahmad 6: 324, hadis ke 26206:Ummu Salam berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Fatimah (as): “Bawalah kepadaku suamimu dan kedua anakmu.” Kemudian Fatimah (as) bersama mereka datang kepada Nabi saw. Lalu beliau memayungi mereka dengan kain kisa’ dan meletakkan tangannya pada mereka, lalu bersabda:
اللّهم إن هؤلاء آل محمّد ، فاجعل صلواتك وبركاتك على محمّد وعلى آل محمّد إنّك حميد مجيد
“Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluarga Muhammad, curahkan shalawat-Mu dan keberkahan-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”Ummu Salamah berkata: Kemudian aku mengangkat kain kisa’ itu untuk berkumpul bersama mereka, kemudian Nabi saw menarik kain kisa’ itu (melarang masuk ke dalam kain kisa’) dan bersabda: “Engkau adalah orang yang baik.”
Dalam Mustadrak Al-Hakim 3: 147, kitab ma’rifah Shahabah:Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berkata: Ketika Rasulullah saw melihat rahmat Allah turun, beliau bersabda: “Datangkan padaku, datangkan padaku.” Shafiyah bertanya: Siapa yang Rasulallah? Beliau menjawab: “Ahlul baitku, yaitu Ali, Fatimah, Al-Hasan dan Al-Husayn.” Lalu mereka datang kepada Nabi saw, kemudian beliau memayungi mereka dengan kain kisa’, kemudian berdoa dengan mengangkat tangannya:
اللّهمّ هؤلاء آلي ، فصلِّ على محمّد وعلى آل محمّد
“Ya Allah, mereka adalah keluargaku, curahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.” Kemudian Allah Azza wa jalla menurunkan surat Al-Ahzab: 33.Al-Hakim mengatakan hadis ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.
Hadis ini dan yang semakna juga terdapat dalam :
1. Kanzul Ummal, Al-Muttaqi Al-Hindi, jilid 7 halaman 103, bab Fadhail Ahlul bait, hadis ke 37629.
2. Musykil Al-Atsar, Ath-Thahawi, jilid 1 halaman 334.
3. Tafsir Ad-Durrul Mantsur, tentang surat Al-Ahzab: 33.
4. Musnad Ahmad, jilid 6 halaman 296.
5. Majma’ Az-Zawaid, Al-Haitsami, jilid 9 halaman 167, bab keutamaan Ahlul bait (as).
Larangan shalawat batra’ (terputus)
Shalawat ba’tra’ adalah shalawat yang tidak menyertakan keluarga Nabi saw dalam bershalawat kepadanya.
Dalam Ash-Shawaiq Al-Muhriqah 87, bab 11:Ibnu Hajar berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat batra’.” Kemudian sahabat bertanya: Apakah shalawat batra’ itu? Nabi saw menjawab: Kalian hanya mengucapkan:
اللّهم صلِّ على محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad. Tetapi hendaknya kalian mengucapkan:
اللّهم صلّ على محمّد وعلى آل محمّد
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Disini terdapat hal yang mengherankan: Mengapa umumnya ummat Islam bershalawat kepada Nabi saw dengan shalawat batra’ yaitu Shallallahu ‘alayhi wa sallam (semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Muhammad). Padahal para ulama dan para imam ahli hadis dari Ahlussunnah telah meriwayatkan hadis-hadis bahwa doa itu tidak diijabah tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, shalat tidak diterima tanpa bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, cara bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan hadis-hadis bahwa Nabi saw melarang bershalawat dengan shalawat batra’ (yang terputus).

Muawiyah dan Pengikutnya Meninggalkan Sunnah Karena Kebencian Terhadap Imam Ali?

iblis muawiyyahPercayakah anda bahwa ada orang yang meninggalkan sunnah karena kebenciannya terhadap Imam Ali. Mau percaya atau tidak semuanya terserah kepada anda sendiri, saya hanya menampilkan riwayat yang memang menyebutkan hal yang demikian.

أخبرنا أبو الحسن محمد بن الحسين العلوي أنبأ عبد الله بن محمد بن الحسن بن الشرقي ثنا علي بن سعيد النسوي ثنا خالد بن مخلد ثنا علي بن صالح عن ميسرة بن حبيب النهدي عن المنهال بن عمرو عن سعيد بن جبير قال كنا عند بن عباس بعرفة فقال يا سعيد ما لي لا أسمع الناس يلبون فقلت يخافون معاوية فخرج بن عباس من فسطاطه فقال لبيك اللهم لبيك وإن رغم أنف معاوية اللهم العنهم فقد تركوا السنة من بغض علي رضي الله عنه

Telah mengabarkan kepada kami Abu Hasan Muhammad bin Husein Al ‘Alawiy yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy yang berkata:
telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Sa’id A Nasawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad yang berkata menceritakan kepada kami ‘Ali bin Shalih dari Maisarah bin Habiib An Nahdiy dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair yang berkata “kami di sisi Ibnu Abbas di ‘Arafah, dan ia berkata “wahai Sa’id kenapa aku tidak mendengar orang-orang bertalbiyah, aku berkata “mereka takut kepada Mu’awiyah”. Maka Ibnu Abbas keluar dari tempatnya dan berkata “labbaikallahumma labbaik, dan celaka [terhinalah] Mu’awiyah, ya Allah laknatlah mereka, mereka meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Ali radiallahu ‘anhu [Sunan Baihaqi 5/113 no 9230]
Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya tsiqat kecuali Khalid bin Makhlad dia salah satu syaikh [guru] Bukhari yang diperbincangkan tetapi perbincangan itu tidak menurunkan hadisnya dari tingkatan hasan. Pendapat yang rajih Khalid bin Makhlad seorang yang shaduq hasanul hadits.
* Abul Hasan Muhammad bin Husein bin Dawud bin ‘Ali Al ‘Alawiy An Naisaburi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Sayyid Muhaddis Shaduq Musnad Khurasan [Siyar ‘Alam An Nubala 17/98 no 60]. Dia adalah guru Baihaqi yang utama dimana Baihaqi telah menshahihkan hadisnya [Sunan Baihaqi 5/142 no 9408]. Pernyataan Baihaqi kalau sanadnya shahih berarti Baihaqi menganggap Abu Hasan Al ‘Alawiy seorang yang tsiqat.
* ‘Abdullah bin Muhammad bin Hasan bin Asy Syarqiy termasuk seorang yang tsiqat dalam hadis. As Sam’aniy berkata “ia dalam hadis seorang yang tsiqat dan ma’mun” [Al Ansab As Sam’aniy 3/149]. Al Khalili menyatakan ia tidak kuat [Al Irsyad 2/471] tetapi jarh ini tidak memiliki alasan atau jarh mubham apalagi jarh laisa bil qawiy adalah jarh yang ringan dan bisa diartikan sebagai perawi yang hasanul hadits [tidak sampai ke derajat shahih]. Adz Dzahabi mengatakan kalau ia shahih pendengarannya [dalam hal hadis] dari Adz Dzahili dan yang satu thabaqat dengannya dan ia diperbincangkan karena sering meminum minuman yang memabukkan [Mizan Al I’tidal juz 2 no 4664]. Tetapi tuduhan ini masih perlu diteliti kembali karena besar kemungkinan yang diminum adalah nabiidz.
* Ali bin Sa’id An Nasawiy Abu Hasan dia seorang yang tsiqat dan tinggal di Naisabur ia mendengar hadis dari Abu Dawud, Abdus Shamad bin Abdul Warits dan Abu Ashim, telah mendengar darinya Ibnu Abi Khaitsamah [Al Irsyad Al Khalili 2/443]
* Khalid bin Makhlad Al Qazhwaniy adalah perawi Bukhari [termasuk guru Bukhari], Muslim, Abu Dawud dalam Musnad Malik, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ahmad berkata ia memiliki hadis-hadis mungkar. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya”. Abu Dawud menyatakan ia shaduq tasyayyu’. Ibnu Ma’in menyatakan tidak ada masalah padanya [yang berarti tsiqat]. Ibnu Adiy berkata “ia termasuk yang memiliki banyak riwayat, di sisiku insya Allah tidak ada masalah padanya”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia mungkar al hadits dan berlebihan dalam tasyayyu’. Al Ijli berkata “ia tsiqat dan sedikit tasyayyu’ serta banyak meriwayatkan hadis”. Shalih bin Muhammad berkata “ia tsiqat dalam hadis hanya saja dituduh ghuluw”. Al Azdiy berkata “di dalam hadisnya terdapat sebagian yang kami ingkari tetapi di sisi kami ia termasuk orang yang jujur”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat dimana Utsman bin Abi Syaibah berkata “tsiqat shaduq”. As Saji dan Al Uqaili memasukkanya dalam Adh Dhu’afa dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 221]. Ibnu Hajar berkata “dia shaduq tasyayyu’ dan memiliki riwayat afrad” [At Taqrib 1/263]. Adz Dzahabi berkata “Syaikh [guru] Bukhari yang syiah shaduq” [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 100]
* ‘Ali bin Shalih bin Shalih bin Hay Al Hamdaniy adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan ia tsiqat. Utsman Ad Darimi dari Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat insya Allah hadisnya sedikit” [At Tahdzib juz 7 no 561]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/696].
* Maisarah bin Habib An Nahdiy termasuk perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah [itu berarti menurut Syu’bah ia tsiqat]. Ahmad, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Abu Dawud berkata “ma’ruf [dikenal]”. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 691]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/232]. Adz Dzahabi menyatakan “tsiqat” [Al Kasyf no 5752]
* Minhal bin ‘Amru Al Asdiy termasuk perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abdullah bin Ahmad berkata aku mendengar ayahku mengatakan Syu’bah meninggalkan Minhal bin ‘Amru. Wahab bin Jarir dari Syu’bah yang berkata “aku datang ke rumah Minhal kemudian aku mendengar suara tambur maka aku kembali tanpa bertanya kepadanya. Wahab bin Jarir berkata “bukankah sebaiknya kau bertanya padanya, bisa saja ia tidak mengetahui hal itu”. [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan shaduq dikatakan pernah salah [At Taqrib 2/216]
* Sa’id bin Jubair termasuk perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ia adalah tabiin murid Ibnu Abbas yang terkenal. Abu Qasim At Thabari berkata “ia tsiqat imam hujjah kaum muslimin”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “ia seorang yang faqih ahli ibadah memiliki keutamaan dan bersifat wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]
Sudah jelas kalau hadis ini sanadnya hasan. Sebagian orang berusaha melemahkan hadis ini dengan melemahkan Abu Muhammad Asy Syarqi Abdullah bin Muhammad bin Hasan karena ia sering minum minuman yang memabukkan [muskir]. Anehnya jika mereka konsisten maka seharusnya mereka juga melemahkan dan menolak para sahabat yang meminum khamar seperti Mu’awiyah dan Walid bin Uqbah. Kenyataannya mereka tetap menerima riwayat kedua sahabat tersebut.
Dan bagi mereka yang akrab dengan kitab rijal maka hal-hal seperti ini cukup ma’ruf [dikenal ] yaitu terdapat beberapa perawi yang tetap dita’dilkan oleh ulama walaupun ia meminum minuman yang memabukkan. Hamzah As Sahmiy mendengar Abu Zur’ah Muhammad bin Yusuf Al Junaidiy pernah berkata tentang perawi yang bernama Ma’bad bin Jum’ah “ia tsiqat hanya saja ia memimum minuman yang memabukkan” [Tarikh Al Jurjani no 951]. Kemudian terkait dengan lafaz yang digunakan dalam kitab rijal, lafaz tersebut bukan “khamar” tetapi “muskir” dimana pada lafaz ini terdapat ulama yang mengatakan kalau yang mereka minum adalah nabiidz. Dan memang nabiidz ini dperselisihkan oleh sebagian ulama kedudukannya. Terdapat para ulama yang menghalalkan nabidz diantaranya An Nakhaiy dan ulama irak lainnya kemudian tetap banyak para ulama yang menta’dil mereka.
Hadis Ibnu ‘Abbas di atas juga dikuatkan oleh jalur lain yang tidak melewati Abu Muhammad Asy Syarqiy dari ‘Ali bin Sa’id dari Khalid bin Makhlad. Ali bin Sa’id An Nasawiy dalam periwayatannya dari Khalid bin Makhlad memiliki mutaba’ah yaitu Ahmad bin Utsman bin Hakim Al Kufy sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Nasa’i 2/419 no 3993 dimana Ahmad bin Utsman bin Hakin seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/42]. Selain itu Ali bin Sa’id juga memiliki mutaba’ah dari Ali bin Muslim As Sulamiy sebagaimana disebutkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 4/260 no 2830. Ali bin Muslim As Sulamiy adalah syaikh [guru] dari Ibnu Khuzaimah dimana Ibnu Khuzaimah menyebutnya Syaikh Al Faqih Al Imam dan menyatakan hadisnya shahih. Hadis ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak no 1706 dengan jalan sanad dari Ahmad bin Haazim Al Ghifari dan Ali bin Muslim keduanya dari Khalid bin Makhlad dari Ali bin Mushir dari Maisarah bin Habib dari Minhal bin ‘Amru dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. [mungkin disini terjadi tashif dalam sanad Al Hakim yang benar bukan Ali bin Mushir tetapi Ali bin Shalih]
Penjelasan Singkat Hadis
Atsar Ibnu Abbas ini mengabarkan kepada kita situasi yang terjadi di zaman pemerintahan Mu’awiyah. Tampak bahwa pada masa itu terdapat orang-orang yang takut kepada Muawiyah sehingga mereka enggan bertalbiyah padahal itu termasuk sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dari riwayat ini maka kita dapat memahami bahwa Mu’awiyah telah melarang orang-orang untuk bertalbiyah di arafah dengan maksud menyelisihi Imam Ali yang teguh melaksanakan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jadi wajarlah kalau orang-orang tersebut takut kepada Muawiyah.
Sikap Muawiyah dan para pengikutnya inilah yang diingkari oleh Ibnu Abbas dimana Ibnu Abbas menyebutnya sebagai “meninggalkan sunnah karena kebencian terhadap Imam Ali”. Hal yang seperti ini memang patut diingkari dan menunjukkan kepada kita bahwa memang Muawiyah dan pengikutnya konsisten untuk menunjukkan kebencian kepada Ahlul Bait sampai-sampai mereka rela meninggalkan sunnah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan melarang orang melakukannya.
Salam Damai

Studi Kritis Hadis Taat Kepada Imam Ali Berarti Taat Kepada Nabi SAAW

Studi Kritis Hadis Taat Kepada Imam Ali Berarti Taat Kepada Nabi SAAW
Salah satu hadis yang didhaifkan oleh salafiyun dan pengikutnya adalah hadis barang siapa taat kepada Ali berarti taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut takhrij hadis tentang keutamaan Imam Ali tersebut.

عن أبي ذر رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ومن أطاع عليا فقد أطاعني ومن عصى عليا فقد عصاني

Dari Abu Dzar radiallahu ta’ala ‘anhu yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “barang siapa yang mentaatiKu sungguh ia mentaati Allah dan barang siapa durhaka kepadaku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barang siapa yang mentaati Ali maka sungguh ia telah mentaatiKu dan barang siapa yang mendurhakai Ali maka ia telah mendurhakaiKu
Hadis ini dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak Ash Shahihain 3/121 no 4617 & 3/128 no 4641, Khaitsamah bin Sulaiman dalam Al Muntakhab min Fawaid hal 19 dan Min Hadis Khaitsamah bin Sulaiman 1/72 no 19, Abu Bakar Al Ismailiy dalam Mu’jam Asy Syuyukh 1/485 no 141, Ibnu Ady dalam Al Kamil 7/233 dan Ibnu Asakir dalamTarikh Dimasyq 42/306 dan 42/307. Dengan jalan sanad yang berujung pada Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimiy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan lafaz sebagaimana diatas.
Al Hakim berkata setelah meriwayatkan hadis ini “sanadnya shahih tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari Muslim”. Adz Dzahabi juga menshahihkan hadis ini. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaaifah no 4892 mendhaifkan hadis ini dengan alasan
  • Yahya bin Ya’la adalah Yahya bin Ya’la Al Aslamy dan ia seorang yang dikenal dhaif
  • Muawiyah bin Tsa’labah tidak dikenal ‘adalah-nya dan
  • Bassaam seorang yang dipercaya tetapi tasyayyu’
Pernyataan Syaikh Al Albani ini perlu ditinjau kembali. Yahya bin Ya’la yang dimaksud bukanlah Al Aslamiy, pendapat yang rajih ia adalah Al Muharibi. Memang pada hadis tersebut tidak disebutkan dengan jelas Yahya bin Ya’la yang dimaksud tetapi dengan melihat siapa saja yang meriwayatkan darinya dan dari siapa ia meriwayatkan hadis maka dapat diketahui siapa sebenarnya Yahya bin Ya’la yang dimaksud. Yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la diantaranya Hasan bin Hammad Al Hadhramy [Mustadrak no 4617], Hakam bin Sulaiman [Mu’jam Asy Syuyukh Ismaili no 141], dan Muhammad bin Ismail [Al Mustadrak no 4641]. Dan disini Yahya bin Ya’la meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy.
  • Dalam biografi Hasan bin Hammad Al Hadhramy, Al Mizzi menyebutkan kalau ia meriwayatkan dari dua orang yang bernama Yahya bin Ya’la yaitu Yahya bin Ya’la At Taimy Abu Muhayyah dan Yahya bin Ya’la Al Aslamy, keduanya adalah orang kufah [Tahdzib Al Kamal no 1219]
  • Dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Muhariby, Al Mizzi menyebutkan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al Hakam bin Sulaiman [Tahdzib Al Kamal no 6949]
  • Dalam biografi Bassam Ash Shayrafiy, Al Mizzi menyebutkan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi [Tahdzib Al Kamal no 664]
Bisa dilihat bahwa ada tiga kemungkinan siapa Yahya bin Ya’la yang dimaksudkan dalam hadis di atas yaitu
  • Yahya bin Ya’la At Taimy Abu Muhayyah yang telah meriwayatkan darinya Hasan bin Hammad Al Hadhramy tetapi tidak dikenal ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [Tahdzib Al Kamal no 6950]
  • Yahya bin Ya’la Al Aslamy yang telah meriwayatkan darinya Hasan bin Hammad Al Hadhramy tetapi tidak dikenal ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Bukhari berkata “mudhtharib al hadits. Abu Hatim berkata “hadisnya dhaif dan tidak kuata”. [Tahdzib Al Kamal no 6951]
  • Yahya bin Ya’la Al Muharibi yang telah meriwayatkan darinya Hakam bin Sulaiman dan ia meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy. Abu Hatim berkata “tsiqat” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 6949]
Kemungkinan yang paling rajih Yahya bin Ya’la disini adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi karena hadis di atas telah diriwayatkan oleh Hakam bin Sulaiman dari Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar radiallahu ‘anhu secara marfu’.
Petunjuk lain yang menguatkan adalah hadis ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail dari Yahya bin Ya’la dari Bassaam Ash Shayrafiy [Al Mustadrak no 4641]. Dan diantara ketiga Yahya bin Ya’la yang dimaksud hanya Yahya bin Ya’la Al Muharribi yang memiliki murid bernama Muhammad bin Ismail yaitu Al Bukhari dan Al Bukhari tidak mungkin meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Aslamy karena Bukhari sendiri mencelanya.
.
.
Satu-satunya hujjah salafy dalam menetapkan kalau Yahya bin Ya’la disni adalah Al Aslamy adalah pernyataan Ibnu Ady dalam Al Kamil. Ibnu Ady menyebutkan hadis ini dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy.

أخبرنا علي بن سعيد الرازي ثنا الحسن بن حماد سجادة ثنا يحيى بن يعلي عن بسام بن عبد الله الصيرفي عن الحسن بن عمرو الفقيمي عن معاوية بن تغلب عن أبى ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من أطاعني أطاع الله ومن عصاني عصى الله ومن أطاع عليا أطاعني ومن عصى عليا عصاني قال وهذا لا اعلم يرويه عن بسام بهذا الإسناد غير يحيى بن يعلي ويحيى بن يعلى هذا كوفي وهو في جملة شيعتهم

Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Sa’id Ar Razi yang menceritakan kepada kami Hasan bin Hamad Sajadah yang menceritakan kepada kami Yahya bin Ya’la dari Bassaam bin Abdullah Ash Shayrafiy dari Hasan bin Amru Al Fuqaimy dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “barang siapa yang mentaatiKu sungguh ia mentaati Allah dan barang siapa durhaka kepadaku maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barang siapa yang mentaati Ali maka sungguh ia telah mentaatiKu dan barang siapa yang mendurhakai Ali maka ia telah mendurhakaiKu. Tidak diketahui yang meriwayatkan dari Bassaam dengan sanad ini kecuali Yahya bin Ya’la dan Yahya bin Ya’la disini adalah Al Kufy dan ia termasuk kelompok syiah mereka. [Al Kamil Ibnu Ady 7/233]
Jika diperhatikan baik-baik maka tidak ada satupun hujjah Ibnu Ady dalam menetapkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy. Ibnu Ady memasukkan begitu saja hadis ini dalam biografi Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Riwayat yang dibawakan Ibnu Ady adalah riwayat Ali bin Sa’id Ar Razi bahwa Hasan bin Hamad meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la dari Bassam Ash Shayrafiy. Tidak ada dalam sanadnya secara jelas disebutkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy. Memang dikenal salah satu Syaikh [guru] Hasan bin Hamad adalah Yahya bin Ya’la Al Aslamy mungkin ini alasan Ibnu Ady menyatakan hadis ini sebagai hadis Yahya bin Ya’la Al Aslamy. Tetapi ini tidaklah menjadi hujjah karena Yahya bin Ya’la yang menjadi guru Hasan bin Hamad tidak hanya Al Aslamy tetapi juga Yahya bin Ya’la bin Harmalah At Taimy.
Walaupun begitu keduanya tidaklah meriwayatkan dari Bassam Ash Shayrafiy, sedangkan yang meriwayatkan dari Bassaam Ash Shayrafiy adalah Yahya bin Ya’la Al Muharibi. Ibnu Ady tidak mengetahui bahwa terdapat perawi lain selain Hasan bin Hammad yang meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Ya’la yaitu Hakam bin Sulaiman dan Muhammad bin Ismail [Al Bukhari] dan keduanya meriwayatkan dari Yahya bin Ya’la Al Muharribi.
Kemudian perhatikan perkataan Ibnu Ady “Yahya bin Ya’la disini adalah Al Kufy dan ia termasuk kelompok syiah mereka”. Pernyataan ini pun tidak menjadi hujjah karena ketiga Yahya bin Ya’la yang kami sebutkan adalah Al Kufy. Baik Yahya bin Ya’la Al Muharribi, Yahya bin Ya’la At Taimy dan Yahya bin Ya’la Al Aslamy ketiganya adalah Al Kufy atau penduduk kufah dan sebelum Ibnu Ady tidak ada satupun yang menyebutkan kalau mereka seorang syiah. Kemungkinan besar karena hadis ini meriwayatkan keutamaan Imam Ali maka dengan mudahnya Ibnu Ady mengatakan kalau Yahya bin Ya’la disini adalah Al Aslamy yang dikenal dhaif dan menyatakan ia termasuk syiah kufah.
Hal ini menguatkan postulat bahwa seorang ulama menyatakan perawi sebagai syiah dengan melihat apakah hadis-hadis yang ia riwayatkan adalah hadis keutamaan Ahlul Bait. Jika benar maka tetaplah ia dikatakan sebagai syiah atau tasyayyu’. Dan di lain tempat ketika membahas hadis keutamaan Ahlul Bait yang dimaksud maka para pengingkar akan mengutip ulama yang menyatakan perawi tersebut tasyayyu’ atau syiah kemudian para pengingkar itu akan menolak hadisnya karena perawi tersebut syiah. Bukankah ini lingkaran setan yang menyesatkan!
.
.
Mengenai cacat kedua yaitu Muawiyah bin Tsa’labah yang tidak dikenal ‘adalahnya. Tentu saja ini pernyataan yang sembrono. Ibnu Hibban memasukkan Muawiyah bin Tsa’labah dalam Ats Tsiqat juz 5 no 5480 seraya menegaskan bahwa ia meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf. Al Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1431 tanpa memberikan cacat atau jarh pada Muawiyah bin Tsa’labah. Abu Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/378 no 1733 menyebutkan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah meriwayatkan hadis dari Abu Dzar dan telah meriwayatkan darinya Abul Jahhaf Dawud bin Abi Auf. Abu Hatim sedikitpun tidak memberikan cacat atau jarh padanya. Al Haitsami membawakan hadis Al Bazzar yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin Tsa’labah dan berkata “para perawinya tsiqat”. Hal ini berarti Al Haitsami menyatakan Muawiyah bin Tsa’labah tsiqat [Majma’ Az Zawaid 9/184 no 14771]
Adz Dzahabi memasukkan nama Muawiyah bin Tsa’labah dalam kitabnya Tajrid Asma’ As Shahabah no 920 dimana ia mengutip Al Ismaili bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat Nabi, tetapi Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/362 no 8589 menyatakan bahwa Muawiyah bin Tsa’labah seorang tabiin. Tidak menutup kemungkinan kalau Muawiyah bin Tsa’labah seorang sahabat atau jika bukan sahabat maka ia seorang tabiin. Statusnya sebagai tabiin dimana tidak ada satupun yang memberikan jarh terhadapnya dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat serta telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqat yaitu Abul Jahaf dan Hasan bin Amru Al Fuqaimi sudah cukup untuk menguatkan kedudukannya. Minimal hadis yang ia riwayatkan berkedudukan hasan dan jika benar ia seorang sahabat maka hadisnya shahih.
Syaikh Al Albani sendiri telah menguatkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi dengan kedudukan yang sama dengan Muawiyah bin Tasa’labah.
  • Dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 680 Syaikh Al Albani memasukkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Ghifari padahal ia hanya dita’dilkan oleh Ibnu Hibban dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa menyebutkan jarh wat ta’dil. Telah meriwayatkan darinya dua orang perawi dan ia seorang tabiin maka menurut Syaikh Al Albani kedudukan hadisnya adalah hasan menurut jama’ah hafizh.
  • Dalam Irwa’ Al Ghalil 1/242 no 225 Syaikh menghasankan hadis Hasan bin Muhammad Al ‘Abdi dimana hanya Ibnu Hibban yang menta’dilkannya dan Abu Hatim menyebutkan biografinya tanpa jarh dan ta’dil. Ia seorang tabiin yang telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yaitu Ali bin Mubarak dan Ismail bin Muslim maka kedudukan hadisnya hasan menurut Syaikh Al Albani.
Jadi pencacatan terhadap Muawiyah bin Tsa’labah tidak bisa diterima dan sesuai dengan manhaj ilmu hadis, hadis seorang tabiin seperti Muawiyah bin Tsa’labah tergolong hadis yang hasan. Kemudian soal pencacatan Bassaam bin Abdullah Ash Shayrafiy karena tasyayyu’ adalah pencacatan yang tidak bernilai karena Bassaam seorang yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “shalih tidak ada masalah dengannya”. Al Hakim juga menyatakan tsiqat dan Ahmad bin Hanbal berkata “tidak ada masalah” [At Tahdzib juz 1 no 800].
.
.
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Muawiyah bin Tsa’labah dengan matan yang agak berbeda tetapi pada intinya memiliki makna yang sama

حدثنا عبد الله قال حدثني أبي قثنا بن نمير قثنا عامر بن السبط قال حدثني أبو الجحاف عن معاوية بن ثعلبة عن أبي ذر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا علي انه من فارقني فقد فارق الله ومن فارقك فقد فارقني

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair yang berkata telah menceritakan kepada kami Amir bin As Sibth yang berkata telah menceritakan kepadaku Abul Jahhaf dari Muawiyah bin Tsa’labah dari Abu Dzar yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Wahai Ali, siapa yang memisahkan diri dariKu maka dia telah memisahkan diri dari Allah dan siapa yang memisahkan diri dariMu maka dia telah memisahkan diri dariKu” [Fadhail Ash Shahabah Ahmad bin Hanbal no 962]
Hadis di atas sanadnya hasan para perawinya tsiqat hanya saja Abul Jahhaf atau Dawud bin Abi ‘Awf dinyatakan syiah atau tasyayyu’. Hal ini tidaklah mencacatkan hadisnya karena ia telah dinyatakan tsiqat oleh Sufyan, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in. Abu Hatim berkata “hadisnya baik” dan Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya” [At Tahdzib juz 3 no 375].
Ibnu Ady telah menyebutkan biografi Dawud bin Abi Auf dalam kitabnya Al Kamil dan dengan jelas ia menyatakan kalau Dawud bin Abi Auf termasuk kelompok syiah kufah dan mayoritas hadisnya adalah hadis keutamaan Ahlul Bait, di sisiku ia bukan seorang yang kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah. Dan diantara hadis keutamaan ahlul bait yang dimaksudkan oleh Ibnu Ady adalah hadis di atas. [Al Kamil Ibnu Ady 3/82-83].
Sekali lagi kami melihat kecenderungan Ibnu Ady untuk mendhaifkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dan mencacatkan para perawi yang sering meriwayatkan hadis keutamaan Ahlul Bait. Perhatikanlah pencacatan Ibnu Ady terhadap Dawud bin Abi Auf Abul Jahhaf sama dengan pencacatannya terhadap Yahya bin Ya’la yaitu dengan kata-kata “penduduk kufah dan termasuk syiah mereka”. Bedanya hanya pada hadis Yahya bin Ya’la Ibnu Ady bisa dengan mudahnya menetapkan kalau Yahya bin Ya’la yang dimaksud adalah Al Aslamy yang dikenal dhaif sedangkan pada hadis Abul Jahhaf ia menambahkan kata “di sisiku tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah” padahal Abul Jahhaf telah dinyatakan tsiqat oleh ulama terdahulu. Pencacatan seorang perawi hanya karena ia tasyayyu’ atau hanya karena ia meriwayatkan hadis keutamaan ahlul bait adalah pencacatan yang tidak bisa diterima.
Kesimpulannya hadis taat kepada Ali berarti taat kepada Nabi adalah hadis yang jayyid dan memiliki makna yang sama dengan hadis siapa yang memisahkan diri dari Ali berarti memisahkan diri dari Nabi. Salafy nashibi seperti biasa suka mencari-cari dalih atas nama ilmiah untuk mencacatkan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait. Semoga Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar.(source)
Salam Damai

Berdakwah dengan Akhlak, Kenapa Tidak?

Berdakwah dengan Akhlak, Kenapa Tidak?
sufi tasawufZakaria, seorang pemuda Kufah beragama Kristen memutuskan untuk masuk Islam karena ia melihat akhlak orang Islam dan kesempurnaan bahasa Al-Quran. Ia pergi ke Mekkah untk melaksanakan haji, dan ketika pulang ia singgah untuk menemui Imam Ja’far Ash-Shadiq.

“Wahai Putera Rasulullah, ayah, ibuku dan keluargaku yang lain masih beragama Kristen. Bagaimana saya harus bersikap dengan mereka? Ibu saya buta, sudah tua, dan perlu perawatan. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya memutuskan hubungan dengannya.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s. bersabda: “Islam adalah agama yang penuh keramahan dan kebaikan. Ada beberapa ajaran Islam tentang hubungan sesama manusia, terutama dengan orang tua. Wahai Zakaria, rawat dan bantulah ibumu semampumu. Bersikaplah lebih baik dan lebih perhatian dari sebelumnya kepada ibumu. Allah Swt. melarang kita berbuat tidak hormat kepada orang tua, atau membentaknya pada saat mereka memanggilmu.”
Zakaria mendengar nasehat Imam, kemudian kembali ke Kufah. Ia langsung menuju rumahnya dan tinggal bersama ibunya. Di rumah itu, keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia menolong ibunya serta menyenangkan hatinya. Menyuapi dan memberinya minum dengan tangannya sendiri. Dia memandikan serta mencucikan bajunya dan juga membersihkan rumah. Ketika ibunya akan pergi, dia menuntun tangannya. Setiap ada kesempatan, ia bercengkrama dengan ibunya dan membuatnya senang.”
Suatu hari ibunya bertanya: “Kamu tidak seperti ini ketika memeluk agama Kristen. Dulu kau tidak peduli padaku, apa yang membuatmu menjadi sangat baik kepada ibu?”
Zakaria menjawab: “Ibu, Imam dan pemimpin kami yang tinggal di Madinah mengatakan agar aku membantu ibu dan ayah semampuku.” “Dia pasti seorang Nabi,” kata ibunya, “karena hanya seorang nabi yang memberi perintah semacam itu untuk orang tua seseorang.”
“Tidak, ibu,” kata Zakaria, “Dia bukan seorang Nabi. Dia seorang Imam dan penerus Nabi. Nabi kami adalah Nabi terakhir dari nabi-nabi Allah Swt dan tidak akan ada lagi nabi baru setelahnya.” Zakaria menatap wajah ibunya. Ketika itu dia melihat ibunya menangis.
Ibunya berkata: “Anakku sayang, agamamu adalah yang terbaik dari agama-agama yang lain. Ajaran yang kau dapat sangatlah indah. Ajaran yang dapat membuka hati ibumu yang sudah tua ini.”
Kita, sebagaimana Zakaria telah mempelajari Islam dengan teliti (walau tidak semuanya dari kita sebelumnya beragama Kristen). Kita masuk pada kesadaran baru setelah pelajaran kita dan kita mereguk cahaya ilmu.
Sekarang kita dihadapkan dua pilihan: Akankah kita menjadi orang yang berlaku kasar dalam mengajarkan ajaran Islam sehingga membuat orang takut? Atau kita menjadi lembut seperti yang diajarkan Imam Ja’far Ash-Shadiq.
Sebagian dari kita mungkin mengandalkan perdebatan dalam berdakwah. Kita berdebat dengan saudara kita. Kita takut-takuti mereka. Kita katakan mereka akan celaka jika tak mau mengikuti ajaran atau mazhab kita. Ada yang berhasil, karena takut dengan ancaman itu. Ada juga yang lari, karena takut dengan kita. Mereka yang lari memang celaka karena tidak mau menerima ajaran yang kita sampaikan, tetapi mereka celaka karena kitalah yang mencelakakan mereka. Kita menampilkan ajaran Islam dengan tampilan yang sangat kasar dan tidak berbelas kasihan. Sehingga mereka takut dengan kita dan ajaran tersebut.
Sebetulnya Imam Ja’far Ash-Shadiq ingin mengajarkan kepada kita bahwa teknik yang paling baik dalam menyampaikan ajaran Islam adalah dengan akhlak. Orang akan lebih tertarik dengan ajaran kita apabila mereka melihat kita berakhlak baik. Buktinya, Zakaria berhasil membuka pintu hati ibunya yang sudah tua dengan kemuliaan akhlak. Padahal orang yang sudah tua biasanya sudah menutup rapat-rapat hatinya dari ajaran yang lain daripada yang dianutnya.
Imam Ja’far Ash-Shadiq sebetulnya ingin mengajarkan kepada kita bahwa bahkan dua ribu dalil sekalipun kita keluarkan untuk membela ajaran atau mazhab kita, hal itu hanya dapat menyentuh otak manusia, dan bukan hatinya. Tetapi apabila kita menggali semua ajaran Islam, kita akan temui bahawa kemuliaan akhlak sangat diagung-agungkan. Dan kemuliaan akhlak juga dapat menyentuh hati manusia, yang  dengannya mereka dapat menerima ajaran Islam.[Berdakwah dengan Akhlak, Kenapa Tidak?]
Oleh: Yulian Rama (aktifis ISLAT)

Imam Ja’far Shadiq; Pencetus Universitas Islam

Imam Ja’far ash-Shadiq As
Pencetus Universitas Islam
Hari Lahir
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. lahir pada 17 Rabiul Awal 80 H di Madinah Al-Munawwarah. Ayah ia adalah Imam Muhammad Al-Baqir as. dan ibunya bernama Ummu Farrah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Bercerita tentang sang ibu, ia menuturkan, ”Bundaku adalah wanita beriman, bertaqwa dan senantiasa berbuat baik, karena sesungguhnya Allah swt. mencintai orang yang senantiasa berbuat baik”.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. hidup sezaman dengan datuknya Imam Ali Zainal Abidin as. selama 15 tahun, dan dengan ayahnya Imam Muhammad Al-Baqir as. selama 34 tahun.
Ia memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya: As-Sabir (sang penyabar), Al-Fadl (sang utama), At-Thahir (sang suci). Gelar ia yang paling masyhur adalah As-Shadiq (sang penyampai kebenaran). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak ia.
Ia sempat menyaksikan datuknya Imam Husain as. baeliau juga menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru meruntuhkan kekuasaan mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang mengatasnamakan Ahlul Bait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani Umayyah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah, mereka malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlul Bait as.
Imam Ja’far as. hidup di bawah pemerintahan zalim Bani Umayyah kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa permerintahan Abbasiyah sekitar 20 tahun. Selama itu, ia menghindar dari kehidupan politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, ia lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak dan aqidah di tengah masyarakat.
Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja’far as. untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa ialah mazhab Ahlul Bait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.
Akhlak Luhur
Zaid bin Tsa’ari Al-Ma’ruf berkata, ”Pada setiap zaman pasti ada seorang dari Ahlul Bait Nabi saw. di antara kita yang menjadi bukti Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kami ini ialah anak laki-laki dari saudaraku, Ja’far bin Muhammad yang tidak akan sesat bagi siapa yang mengikutinya, dan tidak akan mendapat petunjuk bagi siapa yang menyimpang darinya.”
Malik bin Anas (Imam Malik) berkata: “Demi Allah! aku tidak pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah dan kewarakan Ja’far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan ia sangat memuliakanku”.
Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar pada ia selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, ”Seandainya tidak ada dua tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa”.
Salah satu sahabat ia meriwayatkan, “Pada suatu hari aku bersama Aba Abdillah (Imam Ja’far) as. Ketika itu, ia mengendarai keledai menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud kepada Allah cukup lama.
“Aku menunggunya, sampai ia mengangkat kepalanya. Lalu aku berkata kepadanya, “Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, aku melihat Anda turun dari keledai lalu sujud”. Ia membalas, ”Sesungguhnya aku teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku maka aku segera melakukan sujud syukur”.
Pernah juga sahabat itu berkata, ”Aku melihat Ja’far bin Muhammad as. sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ”Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam, berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini”.
Ia berkata kepadaku: ”Sesungguhnya aku senang kepada seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”.
Suatu hari Imam Ja’far as. meminta seorang pembantunya untuk suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, ia keluar mencarinya dan mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata kepadanya: ”Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami waktu siang”.
Imam Ja’far as. pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada pembantunya Mu’tab, ”Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya”.
Ketika telah lewat tengah malam, ia membawa kantong yang berisi roti, daging, dan Dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu ia memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah, sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu. Ketika Imam Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan pangan kepada mereka selama ini adalah ia.
Imam Ja’far as. dan Sufyan Ats-Tsaury
Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram, dia melihat Imam Ja’far as. memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya: ”Demi Allah saya akan peringatkan dia”. Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak dari pada orang lain atas nikmat Allah”.
Kemudian ia membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya.” “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah”.
Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Ia berkata lagi: “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku”.
Imam Ja’far as. dan Perniagaan
Suatu hari Imam as. memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya 1000 Dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya: ”Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga”.
Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.
Setibanya di Mesir mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Ash-Shadiq as. sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi 1000 Dinar.
Dia berkata kepada Imam as, ” Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya”.
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu, bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”
Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap Dinar modal mereka.
Imam as. dengan nada heran berkata, ”Maha Suci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian”.
Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, ”Ini adalah harta saya dan aku tidak butuh pada keuntungan ini ”.
Kemudian berkata, ”Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal”.
Seorang fakir pernah suatu waktu meminta bantuan kepada Imam Ja’far as. Lalu ia berkata kepada pembantunya, ”Apa yang ada padamu? Pembantu itu menjawab: ”Kita punya empat ratus Dirham”.
Imam berkata lagi, ”Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.
Imam meminta kepada pembantunya, ”Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, ”Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali.
Imam berkata, ”Rasululah saw. bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi’, dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi, maka ambillah cincin ini, harganya 10 ribu dirham jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut”.
Berbakti kepada Ibu
Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen), yang baru saja masuk Islam, menjumpai Imam Ja’far Ash-Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?”
Pemuda itu berterus terang, ”Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani, ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka”.
Imam as. berkata, ”Apakah mereka makan daging babi?” Pemuda itu menjawab, ”Tidak”.
Imam as. berkata, ”Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya”.
Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan soleh, berbeda dengan yang tidak pernah dilihat sebelumnya.
Dia berkata, ”Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani, lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”
Pemuda itu menjawab, ”Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”.
”Apakah dia seorang nabi?”, tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, ”Bukan, ia hanyalah keturunan nabi”.
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, ”Agamamu sungguh sebaik-baiknya agama, ajarkanlah agamamu kepadaku”. Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan solat sesuai yang diajarkan anaknya yang soleh itu.
Imam Ja’far as. dan Penimbun Barang
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata, ”Masa menimbun barang pada musim subur (panen) yaitu 40 hari, dan tiga hari pada musim paceklik. Maka barang siapa yang melampaui 40 hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, diapun akan terlaknat”.
Ia berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak”.
Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu’alli bin Khunais melihat Imam Ja’far as. menerobos gelapnya malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh, lalu dia mengikuti ia untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan, Imam as. memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as. meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.
Mualli mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu? Ia menjawab, ”Bukan.”
Imam Ja’far as. juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Ia membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika ia wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata Imam as.
Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau, gandum begitu langka di pasar. Imam ja,far as. bertanya kepada pembantunya Mu’tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu’tab menjawab, ” Kita punya cukup persedian untuk beberapa bulan”.
Ia memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu’tab heran dan memprotes, akan tetapi tidak ada faedahnya. Basyar Makkary meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja’far Ash-Shadiq as. sementara tengah memakan kurma yang berada di tangannya.Ia berkata, ”Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.”
Aku berkata, ”Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara”.Perempuan itu meratap, ”Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan,dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ”Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu duhai Fatimah”.
Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu ia bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.
Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as.mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping Dinar.
Universitas Islam
Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, senantiasa berusaha menumpas Ahlul Bait as. dan mengusir para pengikut mereka di segala penjuru.
Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu dan riwayat dari Ahlul Bait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.
Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad Al-Baqir as dan putranya Imam Ja’far Ash-Shadiq as, mereka berdua memusatkan perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di hati-hati masyarakat.
Pada zaman Imam Ja’far as, begitu banyak pemikiran dan kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras memeranginya.
Dalam rangka itu, ia mendirikan sebuah universitas Islam besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari 4.000 sarjana di berbagai bidang ilmu agama, Matematika, Kimia, hingga Kedokteran.
Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang Ahlul Kimia yang termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan: “Tuanku Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. telah mengatakan kepadaku…”.
Imam Ja’far as. sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa, memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar keimanan. Ia merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai pemikiran sesat. Pernah suatu hari empat pemikir sesat berkumpul di Makkah. Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar Ka’bah.
Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah Al-Qur’an dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari Al-Qur’an untuk disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.
Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, ”Saya telah menghabiskan waktu saya selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ”Maka tatkala mereka putus asa (terhadap hukuman Nabi Yusuf), mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik…. (Qs. Yusuf:80), sungguh kefasihan ayat ini melumpuhkan pikiranku”.
Pemikir kedua menyahut, ”Ya, Aku pun memikirkan ayat yang berbunyi, ”Hai manusia, telah diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. (Qs. Al-Hajj:73), sungguh Aku tidak sanggup mendatangkan seindah ayat ini;.
Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, ”Aku sudah memikirkan ayat ini, ”Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain Allah, tentulah keduanya hancur….(Qs. Al-Anbiya:22), sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya”.
Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan pengakuannya, ”Sesungguhnya Al-Qur’an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini, “Dikatakan: ‘Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah, dan airpun disurutkan, perintahpun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi (dekat Armenia daerah mesopatomia), dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim”. (Qs. Al-Hud:44)
Ketika itu, Imam Ja’far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak memandang mereka, ia membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin bersatu untuk membuat padanan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain”. (Qs. Al-Isra’:88).
Mazhab Ja’far
Mazhab Ahlul Bait as berkembang pada masa Imam Ja’far as, dan pengikutnya terus berbertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syiah dengan mazhab Ja’fari, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as.
Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja’fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as. yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as. tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as. mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram).
Rasulullah saw. telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga ia (Ahlul Bait as.). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.
Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw. Itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlul Bait as. demi keselamatan hidupnya.
Imam Ja’far as. dan Mansur Dawaniqi
Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayyah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlul Bait Rasul as. demi kepentingan pribadi.
Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umayyah dengan membawa-bawa nama Ahlul Bait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlul Bait Muhammad”.
Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.
Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir bahkan keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Mansur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.
Mansur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja’far as.
Pernah suatu kali Mansur mengundang Imam Ja’far as. dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?”
Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as..
Dengan liciknya, Manshur menawarkan, ” kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasehatiku?
Imam as. kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasehatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu”.
Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as. di sana.
Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as. serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja’far as. bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Mansur) yang lebih pantas menjadi sasarannya”.
Lalu Imam as. menoleh ke khalayak dan berkata, ”Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya, yaitu orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini”.
Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.
Dikisahkan, bahwa pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Mansur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja’far as. dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?
“Untuk menghinakan hidung orang sombong”. Jawab Imam As.
Mansur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as. di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas ia. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni ia.
Imam Ja’far as. Meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi, di Madinah Al-Munawwarah. [red/telagahikmah.org]